KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmatnyalah
kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Islam Sebagai Jalan Menuju
Kebahagiaan” tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini
kami mendapat banyak tantangan dan hambatan tapi dengan bantuan berbagai
pihak, masalah itu dapat teratasi. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan
makalah ini. Maka dari itu,saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan
dari pembaca sekalian. kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja
yang membacanya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Konsep & Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
2.2 Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
2.3 Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Model Beragama Yang Benar
2.4 Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan
2.1 Konsep & Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
2.2 Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
2.3 Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Model Beragama Yang Benar
2.4 Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan
BAB
III : PENUTUP
3.1
Kesimpulan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebahagiaan
dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari
nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud
dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan
introspeksi dan koreksi diri) untuk
selalu berpegang pada nilai-nilai
kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam,
dan kehidupan, serta menjunjung tinggi
kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial,
dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap
jika tidak mewujud dalam kehidupan
konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.
Tak
ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun
hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup
bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan
sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk
meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak
tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup. Dan ini menjadi
cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimana konsep dan Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan?
- Apa Alasan Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia?
- Apa Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Satu-Satunya Model Bergama Yang Benar?
- Apa Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai-Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan?
1.3 Tujuan
- Mengetahui Konsep dan Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
- Mengetaui Alasan Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
- Mengetahui Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Satu-Satunya Model Bergama Yang Benar
- Mengetahui Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai-Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Karakteristik Islam Sebagai Jalan
Menuju Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam Islam
adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang
hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan
koreksi diri) untuk selalu berpegang
pada nilai-nilai kebenaran ilahiah,
mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta menjunjung tinggi kejujuran,
kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan
profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan
jalan membahagiakan orang lain.
Berikut pendapat dari
beberapa ahli mengenai makna kebahagiaan:
Menurut Al-Alusi bahagia
adalah perasaan senang dan gembira karena bisa mencapai keinginan/cita-cita
yang dituju dan diimpikan. Pendapat lain menyatakan bahwa bahagia atau
kebahagiaan adalah tetap dalam kebaikan, atau masuk ke dalam kesenangan dan
kesuksesan.
Konsep bahwa tujuan hidup
adalah sa ādah ‟ di dunia dan sa ādah ‟ di akhirat, bahagia di dunia dan
bahagia di akhirat. Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah kebahagiaan itu adalah
perasaan senang dan tenteram karena hati sehat dan berfungsi dengan baik. Hati
yang sehat dan berfungsi dengan baik bisa berhubungan dengan Tuhan pemilik kebahagiaan.Kebahagiaan
dapat diraih kalau dekat dengan pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah
Swt. Dalam kitab Mīzānul „Amal, Al-Ghazali menyebut bahwa sa ādah ‟ (bahagia)
terbagi dua, pertama bahagia hakiki; dan kedua, bahagia majasi. Ibnu Athaillah mengatakan,
“Allah memberikan harta kepada orang yang dicintai Allah dan kepada orang yang
tidak dicintai Allah, tetapi Allah tidak akan memberikan iman kecuali kepada
orang yang dicintai-Nya.”
Menurut Al-Ghazali kebahagiaan harta bukan melekat
pada dirinya, namun pada manfaatnya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad saw.
bersabda, ”Harta yang terbaik adalah harta yang ada pada seorang laki-laki yang
baik pula (saleh).” (HR Ibnu Hibban). Di antara kebahagiaan duniawi adalah
memiliki keluarga, anakanak yang saleh, dan istri yang salihah pula. Istri yang
salihah bagaikan kebun yang dapat mengikat pemiliknya, yaitu suami untuk tidak
terjerumus pada hal-hal yang diharamkan Allah azza wajalla Nabi Muhammad
menyatakan, “Sebaik-baik penolong untuk keutuhan beragama adalah istri yang
salihah.” Menyangkut keutamaan anak, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Jika anak
Adam meninggal dunia, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara; sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR
Thabrani).
Agama adalah landasan atau fundamen, sedangkan jabatan
atau kedudukan adalah penjaganya. Barang siapa yang tidak memiliki fondasi,
maka akan roboh. Sebaliknya, barang siapa yang tidak mempunyai penjaga, maka akan
kehilangan. Allah berfirman,
فَهَزَمُوْهُمْ
بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوْتَ وَاٰتٰٮهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ
وَالْحِکْمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَآءُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ
النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْاَرْضُ وَلٰـکِنَّ اللّٰهَ ذُوْ فَضْلٍ
عَلَى الْعٰلَمِيْنَ
“Seandainya
bukan kerena perlindungan Allah kepada sebagian manusia atas sebagian yang
lain, maka rusaklah bumi ini”(QS Al-Baqarah/2: 251).
Pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah bahwa untuk
menggapai kebahagiaan itu mengharuskan adanya kondisi hati yang sehat (qalbun
salīm), Karakteristik hati yang sehat adalah sebagai berikut.
- Hati menerima makanan yang berfungsi sebagai nutrisi dan obat.
- Selalu berorientasi ke masa depan dan akhirat.
- Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah
- Tidak pernah lupa dari mengingat Allah (berzikir kepada Allah),
- Jika sesaat saja lupa kepada Allah segera ia sadar dan kembali mendekat dan berzikir kepada-Nya
- Jika sudah masuk dalam salat, maka hilanglah semua kebingungan dan kesibukan duniawinya
- Perhatian terhadap waktu agar tidak hilang sia-sia melebihi perhatian kepada manusia lain dan hartanya.
- Hati yang sehat selalu berorientasi kepada kualitas amal bukan kepada amal semata. Oleh sebab itu, hati selalu ikhlas, mengikuti nasihat, mengikuti sunnah, dan selalu bersikap ihsan.
Berikutnya Anda dapat
menyimpulkan sendiri bahwa hati yang sakit adalah hati tidak memiliki kriteria
sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, kalau hati enggan atau menghindar dari makanan
yang sehat malah sebaliknya, hati beralih ke makanan yang tidak sehat berarti
hati itu sakit. Demikian pula, jika ia tidak mau makan obat, menghindar dari
obat yang bisa menyembuhkan yakni Al-Quran, berarti hati itu pun sakit. Hati
yang sakit adalah hati yang tidak berfungsi dengan semestinya. Fungsi hati
adalah untuk mencintai Allah, rindu kepada Allah, dan kembali kepada Allah yang
dimana kembali kepada Allah sebagai Tuhannya, maka nilainya sama saja dengan
orang yang tidak mengetahui sama sekali. Demikian juga seandainya manusia
mendapatkan bagian-bagian dunia, kenikmatan dunia, dan syahwat dunia, tetapi tidak
memiliki rasa cinta kepada Allah, tidak rindu kepada Allah, tidak nikmat bersama
Allah, tidak berkhidmat kepada Allah, maka manusia tidak mendapatkan kenikmatan,
kesenangan dan kebahagiaan. Sekiranya hati manusia itu bahkan kosong tidak mendapatkan
semua itu, maka kehidupan dunia akan menjadi siksa baginya
2.2 Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan
Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
Kunci
beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang melekat dalam diri
manusia dan telah menjadi karakter manusia itu sendiri. Kata “Fitrah” secara
kebahasaan memang asal maknanya adalah suci. Yang dimaksud suci adalah suci
dari dosa dan suci secara genetis. Menurut Prof. Udin Winataputra, fitrah
adalah lahir dengan membawa iman. Berbeda dengan konsep teologi islam, teologi
tertentu berpendapat sebaliknya yaitu bahwa setiap manusia lahir telah membawa
dosa yakni dosa warisan di dunia. Menurut teologi ini, manusia dibebani tugas
yaitu harus membebaskan diri dari dosa itu. Adapun teologi islam, seperti telah
dijelaskan, bahwa setiap manusia lahir dalam kesucian yakni suci dari dosa dan
telah beragama yakni agama islam. Tugas manusia adalah berupaya agar kesucian
dan keimanan terus terjaga dalam hatinya hingga kembali kepada Allah. Allah
berfirman dalam Al-Quran yang artinya sebagai berikut ;
فَاَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا ۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا ۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَـلْقِ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ
الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ۙ وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَعْلَمُوْنَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum/30:30)
Yang
dimaksud fitrah Allah pada ayat di atas adalah bahwa manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama
tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu karena
disebabkan banyak faktor antara lain pengaruh lingkungan.
Di
samping itu, ayat di atas juga mengandung maksud bahwa setiap manusia yang
lahir telah dibekali agama dan yang dimaksud agama adalah agama Islam. Inti agama Islam
adalah tauḫīdullāh. Jadi, kalau
ketika orang lahir telah dibekali tauḫīdullāh,
maka ketika ia hidup di alam ini dan ketika ia kembali kepada Sang Pencipta
harus tetap dalam fitrah yakni dalam tauḫīdullāh.
Mengganti kefitrahan yang ada dalam diri manusia sama artinya dengan menghilangkan
jati diri manusia itu sendiri. Hal itu sangat tidak mungkin dan tidak boleh.
Allah sendiri yang melarangnya.“Tidak
boleh ada penggantian terhadap agama ini sebab inilah agama yang benar meskipun
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS Ar-Rum/30: 30). Ibnu Kasir
ketika menafsirkan Surah Ar-Rum ayat 30 secara tegas menyatakan, bahwa yang
dimaksud “khalqillāh” adalah agama
Allah dan yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam. Untuk memperkuat
pendapatnya, Ibnu Kasir selanjutnya mengutip surah Al-A‟raf/7:172 yang
ditafsirkannya bahwa Allah menciptakan semua manusia ada dalam hidayah agama
Islam, namun kemudian datanglah kepada mereka agama yang fasid, Yahudi, Nasrani
dan Majusi. Karena dorongan setan, maka masuklah sebagian manusia ke dalam
agama yang fasid itu. Dengan demikian, “tidak boleh mengganti agama Allah”
berarti “janganlah kamu mengubah agama yang telah mereka bawa sejak di alam
arwah sebab mengubah agama itu berarti kamu mengubah fitrah yang telah Allah
ciptakan kepada manusia di atas fitrah itu”. Mungkin saja orang akan mengatakan
“mengubah” agama manusia adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena
beragama adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang harus dijaga dan
dihormati.
2.3 Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Satu-Satunya
Model Bergama Yang Benar
Sebagaimana
telah diketahui bahwa misi utama Rasulullah saw., seperti halnya rasul-rasul
yang sebelum beliau adalah mengajak manusia kepada Allah. Lā ilāha illallāh
itulah landasan teologis agama yang dibawa oleh Rasulullah dan oleh semua para
nabi dan rasul. Makna kalimat tersebut adalah “Tidak ada Tuhan kecuali Allah;”
“Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah;” “Tidak ada yang dicintai
kecuali Allah;” “Tidak ada yang berhak dimintai tolong / bantuan kecuali
Allah;” “Tidak ada yang harus dituju kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus
ditakuti kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus diminta ridanya kecuali
Allah.”
Tauḫīdullāh
membebaskan manusia dari takhayul, khurafat, mitos, dan bidah. Tauḫīdullāh
menempatkan manusia pada tempat yang bermartabat, tidak menghambakan diri
kepada makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada manusia. Manusia adalah
makhluk yang paling mulia dan paling sempurna dibanding dengan makhlukmakhluk
Allah yang lain. Itulah sebabnya, Allah memberikan amanah dan khilāfah kepada
manusia. Manusia adalah roh alam, Allah menciptakan alam karena Allah
menciptakan manusia sempurna (insan kamil). Sekiranya tidak ada insan kamil,
maka Allah tidak perlu menciptakan alam ini, demikian menurut hadis qudsi yang
menyatakan, “Dan manusia yang ber- tauḫīdullāh dengan benarlah yang berpotensi
untuk mendekati posisi insan kamil.”
Rasulullah
bersabda, “Lā ilāha illallāh adalah bentengku. Barang siapa masuk ke bentengku,
maka ia aman dari azab.” (Alhadits).
Lā
ilāha illallāh adalah kalimah taibah (thayyibah), yang digambarkan oleh
Al-Quran laksana sebuah pohon yang akarnya tertancap ke dalam tanah, batangnya
berdiri tegak dengan kokoh, yang dahan dan rantingnya mengeluarkan buah-buahan,
yang lebat dan bermanfaat untuk manuasia. Makna ayat secara majasi bahwa jika
akarnya baik, maka buahnya pun baik dan lebat, dan sebaliknya jika akarnya
tidak baik, maka buah pun tidak akan ada. Demikian juga jika tauḫīdullāh-nya
benar, maka segala sesuatunya menjadi baik dan benar, tetapi jika tauhidnya
tidak benar, maka aktivitas yang ia lakukan menjadi tidak berharga, sia-sia dan
mubazir.
Allah
berfirman, “Allah meneguhkan hati orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
kokoh di dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat” (QS Ibrahim/14: 27).Yang
dimaksud “ucapan yang kokoh” adalah kalimah tauhid yakni kalimah taibah yaitu
kalimah “ lā ilāha illallāh”.
Nabi
Muhammad bersabda, “Barang siapa mengucapkan kalimah lā ilāha illallāh secara
ikhlas, pasti ia masuk surga. Rasulullah ditanya, “Apa yang dimaksud keikhlasan
itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Bahwa
kalimah itu bisa menghalangi orang itu dari hal-hal yang diharamkan Allah” (HR
Thabrani).
Dari
Abu Hurairah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw., „Siapakah orang
yang paling bahagia dengan mendapatkan syafaatmu pada hari Kiamat?‟ Rasulullah
menjawab, „Aku menduga, wahai Abu Hurairah, tidak akan ada yang bertanya
tentang hal ini sebelummu. Namun, karena aku melihat betapa bersungguh-sungguh
engkau dalam mencari hadis, maka aku beritakan bahwa manusia yang paling
bahagia dengan mendapat syafaatku pada hari Kiamat adalah orang yang
mengucapkan kalimah “lā ilāha illallāh” dengan
ikhlas dari hatinya atau dari jiwanya” (HR Bukhari).
Rasulullah
menyatakan bahwa kunci surga itu adalah kalimah lā ilāha illallāh. Menurut ahli
makrifat, yang namanya kunci haruslah sesuatu yang punya gigi karena kunci ada
giginya, maka ia dapat dipakai membuka pintu. Di antara gigi kunci surga itu
adalah lisan yang berzikir, suci dari dusta dan gibah, lalu hati yang khusyuk,
suci dari hasad dan khianat, perut yang bersih suci dari makanan yang haram dan
syubhat, dan anggota badan yang disibukkan dengan berkhidmat kepada Allah, dan
suci dari maksiat dan dosa-dosa.
Betapa
tauḫīdullāh sangat prinsip dalam kehidupan seorang muslim. Nabi Muhammad
mengingatkan manusia agar terhindar dari hal-hal yang merusak tauḫīdullāh.
Perkara yang dapat merusak tauḫīdullāh adalah syirik. Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman
yang sangat besar” (QS Luqman/31:13). Dalam ayat yang lain Allah berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Allah akan
mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki” (QS An-Nisa/4 42); “Barang siapa syirik
kepada Allah, maka Allah mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya
adalah neraka” (QS Al-Hajj/22: 31). Ayat lainnya bisa Anda baca: (QS Luqman/31:
15), (QS Al-Hajj/22: 26), (QS Jin/72: 20), QS Ar-Ra‟d/13: 38),QS Al-Baqarah/2: 32),
(QS Ali Imran/3: 51), (QS Al-An‟am/6: 22, 88, 107, 148), (QS An-Nahl/16:
54). Dalam sebuah hadis sahih Rasulullah
saw. pernah bersabda, “Perlukah aku beritakan kepada kalian tentang dosa yang
paling besar?” Para sahabat menjawab, ”Tentu saja ya Rasulullah.” Rasul
bersabda, “Musyrik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau duduk lalu berkata lagi, ”Ingatlah
ucapan palsu, ingatlah persaksian palsu.” Rasulullah mengulang-ngulang
ucapannya hingga aku menduga Rasulullah
tidak akan berhenti” (muttafaq ‟alaih).
Sebagaimana
telah Anda maklum bahwa syirik terbagi dua, ada syirik akbar (besar) dan ada
syirik asghar.(kecil). Syirik akbar adalah menyekutukan Allah dengan
selain-Nya. Adapun syirik asghar adalah riya dalam beramal. Allah berfirman, “Barang siapa menghendaki bertemu dengan
Allah, maka hendaklah beramal dengan amal saleh dan jangan menyekutukan Tuhan
dengan siapa pun dalam beramal.”(QS Al-Kahfi/18: 79).
Rasulullah
bersabda, “Jauhilah oleh kalian syirik asghar (syirik kecil).” Para sahabat
bertanya, “Ya Rasulullah, apakah syirik asghar itu?”
Rasulullah menjawab, “Riya”. Dalam hadis lainnya, seorang sahabat bertanya lagi
kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah apakah yang dimaksud keselamatan”? Rasul
menjawab, ”Engkau jangan berkhianat kepada Tuhanmu.” Sahabat bertanya,
“Bagaimana berkhianat kepada Tuhan itu?” Rasul menjawab, ”Engkau mengerjakan
suatu amal perintah Allah dan rasul-Nya, tetapi engkau beramal dengan amal itu
engkau maksudkan untuk selain Allah. Jauhi riya sebab riya itu adalah syirik
asghar.” (HR Muslim).
Tauḫīdullāh
adalah barometer kebenaran agama-agama sebelum Islam. Jika agama samawi yang
dibawa oleh nabi-nabi sebelum Muhammad saw. masih tauḫīdullāh, maka agama itu
benar, dan seandainya agama nabi-nabi sebelum Muhammad saw. itu sudah tidak tauḫīdullāh
yakni sudah ada syirik, unsur menyekutukan Allah, maka dengan terang benderang
agama itu telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Agama yang dibawa para
nabi pun namanya Islam. Silakan baca argumen Qurani dalam wahyu Tuhan. Sebagian
ayat tentang masalah tersebut disampaikan sebagai berikut.
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ
يُّقْبَلَ مِنْهُ ۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama, maka tidak
akan diterima dan di akhirat termasuk orang yang merugi.” (QS Ali Imran/3: 85).
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ
وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ
الْعِلْمُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ
اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama yang diridai
Allah adalah agama Islam.” (QS Ali Imran/3:
19).
اَفَغَيْرَ دِيْنِ اللّٰهِ يَبْغُوْنَ وَلَهٗۤ اَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah mereka mencari agama
selain agama Allah, padahal hanya kepada-Nya menyerahkan diri segala yang di
langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah
mereka dikembalikan.” (QS Ali Imran/3:
83).
Setiap
orang harus bersikap hati-hati bahwa tauḫīdullāh yang merupakan satu-satunya
jalan menuju kebahagiaan itu, menurut Said Hawa, dapat rusak dengan hal-hal
sebagai berikut.
1. Sifat Al-Kibr (sombong)
Allah
tidak mau memperhatikan orang yang bersikap sombong terhadap ayat-ayat Allah.
Allah berfirman, “Akan Kami palingkan
dari ayat-ayat Kami orang-orang yang sombong di muka bumi tanpa hak. Seandainya
mereka melihat setiap ayat, mereka tidak memercayainya, dan jika mereka melihat
jalan petunjuk, mereka tidak mengikutinya, dan jika mereka melihat jalan
kesesatan, mereka menjadikannya sebagai jalan. Hal demikian terjadi, sebab
mereka mendustakan ayat-ayat Kami, dan mereka lupa terhadap ayat-ayat itu.”
(QS Al-Araf/7: 146).
2. Sifat Azh-Zhulm (kezaliman) dan
Sifat Al-Kizb (kebohongan)
“Bebaskan diri kita dari belenggu
kezaliman dan kedustaan sebab Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang
bersikap zalim” (QS Ash-Shaff/61:
7). Selain itu, “Allah pun tidak akan
memberi hidayah kepada pendusta yang bersifat mengingkari (kaffar).” (QS Az-Zumar/39: 3).
3. Sikap Al-Ifsād (melakukan
perusakan).
Bebaskan
diri kita dari sikap merusak di muka bumi, membatalkan perjanjian, dan
memutuskan perintah-perintah yang mestinya disampaikan.
Allah
berfirman, “Dan tidak akan tersesat
kecuali orangorang fasik, yaitu orang-orang yang membatalkan perjanjian dengan
Allah yang dulunya telah kokoh, dan mereka memutuskan apa-apa yang
diperintahkan Allah untuk disampaikan, dan mereka melakukan perusakan di muka
bumi, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al-Baqarah/2: 26-27).
4. Sikap Al-Ghaflah (lupa)
Jika
Anda menginginkan adanya keterbukaan terhadap ayatayat Allah secara
keseluruhan, maka ketahuilah bahwa sebagian ayat-ayat Allah terbuka kepada
sebagian manusia dengan hanya berpikir dan berzikir kalau di sana tidak ada
penghalang. Untuk mengambil sebagai contoh; kita perhatikan ayat Tuhan berikut
ini,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akalnya.” (QS Ar-Ra‟d/13: 4).
“Sesungguhnya di dalam penciptaan
langit dan bumi, pergantian siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal yaitu mereka yang berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk, dan
berbaring dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi” (QS Ali Imran/3: 190-191).
Tidaklah seseorang berpaling dari
Allah kecuali karena lupa, dan tidak ada sikap lupa kecuali di belakangnya ada
permainan dan ingatlah bahwa seluruh kehidupan dunia itu adalah permainan
belaka. “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan.” (QS. Muhammad/47:26)
“Telah dekat hari perhitungan kepada
manusia padahal mereka dalam keadaan lupa dan berpaling. Tidaklah datang kepada
mereka peringatan dari Tuhan kecuali mereka mendengar sambil bermain-main, dan
hati mereka lalai.” (QS.
Al-Anbiya/21:1-2)
5. Al-Ijram (Berbuat dosa)
“Sekali-kali tidak, tetapi apa yang
mereka kerjakan mengotori hati mereka.”
(QS. Al-Muthaffifir/83:14).
5. Al-Ijram (Berbuat dosa)
Bebaskan
diri kita dari ijram yakni berbuat dosa. Allah melukiskan sikap ini dalam firman
–Nya,
“Demikian juga kami memasukannya pada
hati orang-orang berdosa tetapi mereka tidak mengimaninya dan telah berlalu
sunnah (kebiasaan) orang-orang terdahulu.”
(QS. Al Hijr/15:12-13)
2.4 Esensi dan Urgensi Komitmen
Terhadap Nilai-Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan
Mengapa
jiwa tauhid penting? Sebab jiwa tauhid adalah modal dasar hidup yang dapat
mengantar manusia menuju keselamatan dan kesejahteraan. Sungguh, jiwa tauhid
penting, Allah sebagai rabb telah menanamkan jiwa tauhid ini
kepada seluruh manusia semenjak mereka berada di alam arwah. Supaya jiwa tauhid
berkembang, maka Allah mengutus para rasul dengan tugas utamamya yaitu
menyirami jiwa tauhid agar tumbuh dan berkembang sehingga menghasilkan buah
yang lebat yaitu amal saleh.
Jiwa
tauhid dikembangkan dalam diri manusia agar jiwa tauhid menjadi roh kehidupan
dan menjadi cahaya dalam kegelapan. Sebuah aktivitas yang dilaksanakan
mahasiswa, misalnya, akan bermakna kalau ada rohnya. Aktivitas tanpa roh adalah
kegiatan semu yang tidak akan membuahkan kemaslahatan. Jiwa tauhid merupakan
roh segala aktivitas umat manusia. Demikian juga, berjalan dalam kegelapan
rohani dapat membahayakan diri sendiri dan juga orang lain.
وَلَـقَدْ ذَرَأْنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ
الْجِنِّ وَالْاِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَا
ۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَا ۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ
لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَا ۗ اُولٰٓئِكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ
اَضَلُّ ۗ اُولٰٓئِكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan (untuk isi neraka
jahannam) kebanyakan jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi
tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al-A‟raf/7: 179).
Nilai-nilai
hidup yang dibangun di atas jiwa tauhid merupakan nilai positif, nilai
kebenaran, dan nilai Ilahi yang abadi yang mengandung kebenaran mutlak dan
universal. Nilai mutlak dan universal yang terdapat di dalamnya dapat
menjadikan misi agama ini sebagai raḫmatan
lil ‟ālamīn, agama
yang membawa kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan mat manusia
lahir dan batin. Komitmen terhadap nilai-nilau universal A-Quran menjadi syarat
mutlak untuk memperoleh kebahagiaan. Roh kebahagiaan adalah jiwa tauhid yang di
atas jiwa tauhid itu nilai-nilai universal dibangun. Komitmen terhadap
nilai-nilai universal itu merupakan metode dan strategi untuk menggapai
kebahagiaan.
Nilai-nilai
universal yang perlu ditanamkan dan dikembangkan agar menjadi roh kehidupan itu
adalah ash-shidq
(kejujuran), alamānah, al-„adālah, al-ḫurriyyah (kemerdekaan), al-musāwah (persamaan), tanggung jawab sosial, at-tasāmuḫ (toleransi),
kasih sayang, tanggung jawab lingkungan, tabādul-ijtima‟ (saling memberi manfaat), at-tarāḫum (kasing sayang) dan lain-lainnya.
1. Al-Amānah
Al-Amānah artinya terpercaya. Mengapa seseorang terpercaya dan
dipercaya? Karena ia jujur. Kejujuran menyebabkan seseorang dipercaya. Karena
dipercaya, maka ia menjadi manusia terpercaya (al-Amīn). Al-amīn adalah sifat Muhammad sebelum menjadi nabi sehingga
karena sifat inilah ia dipercaya masyarakat Quraisy pada waktu itu untuk
menyelesaikan persengketaan dalam meletakan Hajar Aswad pada tempatnya. Amanah juga bisa diartikan
„titipan‟. Harta, tahta, dan wanita yang menjadi istri kita adalah titipan
Tuhan. Oleh karena titipan, maka kita harus memperlakukan semua itu sesuai
dengan aturan dan kehendak yang menitipkannya yaitu Allah. Syekh Abdul Qadir
Jailani menyatakan bahwa harta adalah “khadimmu”
(sesuatu yang menjadi wasilah untuk
mencapai tujuan), dan kamu adalah “khadim” Tuhan. Perlakukan harta sesuai aturan Tuhan!
Demikian juga tahta dan keluarga kita. Terhadap semua itu kita akan dimintai
pertanggungjawabannya. Karena ada pertanggungjawaban di akhir, baik di dunia
maupun di akhirat, maka orang yang mendapatkan amanah jabatan, amanah kekayaan,
dan amanah keluarga tidak boleh hidup semena-mena dengan jabatannya, hartanya
dan keluarganya, tetapi harus hatihati, proporsional, dan penuh tanggung jawab supaya
pertanggungjawabannya diterima masyarakat dan diterima oleh Allah dan akhirnya
diberi pahala oleh Allah.
2. Al-Adālah
Al-„Adālah
secara etimologis artinya „keadilan‟.
Keadilan dalam persepektif etika Islam adalah adanya keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Sesuatu yang menjadi hak kita, maka menjadi kewajiban bagi orang
lain. Sebaliknya, sesuatu yang menjadi hak orang lain, maka menjadi kewajiban
kita.
Keadilan
dalam perspektif hukum adalah “Wadh‟u sya`in fī maḫallihi”
artinya „meletakan sesuatu pada
tempatnya‟. Dalam aplikasinya keadilan dapat berarti memberikan hukuman bagi
yang melanggar norma dan hukum, serta
memberikan penghargaan bagi yang
melakukan ketaatan terhadap norma dan hukum. Keadilan dapat juga dijabarkan
sebagai memberikan keputusan hukum secara jujur, objektif, dan benar tanpa
dipengaruhi hal lain yang tidak berkaitan dengan hukum. Misal hal lain adalah
hubungan keluarga, pertemanan, permusuhan, kebencian, atau penyuapan, dan
gratifikasi. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena Allah
menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu
berlaku tidak adil; berlaku adillah sebab berlaku adil itu lebih dekat kepada
ketakwaan; dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah/5:
8).
3. Al-Hurriyyah
Kebebasan
manusia dalam berkehendak dan mewujudkan kehendak dengan perbuatan adalah hak
asasi manusia. Manusia mempunyai kebebasan untuk berpikir dan mengembangkan
pemikirannya lewat ilmu, filsafat, atau pembaharuan pemahaman terhadap agama.
Kebebasan berpikir merupakan sarana untuk melahirkan gagasan-gagasan besar
untuk memajukan peradaban manusia. Peradaban yang maju tentu berawal dari
gagasangagasan besar yang diwujudkan dalam bingkai iptek. Di samping mempunyai
kebebasan berpikir, manusia juga mempunyai kemerdekaan dalam berserikat,
berpolitik, dan menyampaikan aspirasinya melalui saluran-saluran yang benar
secara hukum. Kemerdekaan berserikat, berpolitik, dan berpartisipasi dalam
organisasi yang diikuti merupakan ciri utama masyarakat madani.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Kebahagiaan dalam Islam
adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang
hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan
koreksi diri) untuk selalu berpegang
pada nilai-nilai kebenaran ilahiah,
mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan, serta menjunjung tinggi kejujuran,
kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan
profesional.
Kunci beragama berada
pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang melekat dalam diri manusia dan
telah menjadi karakter manusia itu sendiri. Kata “Fitrah” secara kebahasaan
memang asal maknanya adalah suci. Yang dimaksud fitrah Allah pada QS.
Ar-Rum/30:30 adalah bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama tauhid. Inti agama Islam adalah
tauḫīdullāh. Jadi, kalau ketika orang lahir telah dibekali tauḫīdullāh, maka ketika ia hidup di
alam ini dan ketika ia kembali kepada Sang Pencipta harus tetap dalam fitrah
yakni dalam tauḫīdullāh.
Tauḫīdullāh membebaskan
manusia dari takhayul, khurafat, mitos, dan bidah. Tauḫīdullāh menempatkan
manusia pada tempat yang bermartabat, tidak menghambakan diri kepada makhluk
yang lebih rendah derajatnya daripada manusia. Tauḫīdullāh adalah barometer
kebenaran agama-agama sebelum Islam. Jika agama samawi yang dibawa oleh
nabi-nabi sebelum Muhammad saw. masih tauḫīdullāh, maka agama itu benar, dan
seandainya agama nabi-nabi sebelum Muhammad saw. itu sudah tidak tauḫīdullāh
yakni sudah ada syirik, unsur menyekutukan Allah, maka dengan terang benderang
agama itu telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Agama yang dibawa para
nabi pun namanya Islam
Sungguh, jiwa tauhid
penting, Allah sebagai rabb telah menanamkan jiwa
tauhid ini kepada seluruh manusia semenjak mereka berada di alam arwah. Jiwa tauhid dikembangkan
dalam diri manusia agar jiwa tauhid menjadi roh kehidupan dan menjadi cahaya
dalam kegelapan. Nilai-nilai hidup yang dibangun di atas jiwa tauhid merupakan
nilai positif, nilai kebenaran, dan nilai Ilahi yang abadi yang mengandung
kebenaran mutlak dan universal. Nilai mutlak dan universal yang terdapat di
dalamnya dapat menjadikan misi agama ini sebagai raḫmatan lil ‟ālamīn, agama
yang membawa kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan mat manusia
lahir dan batin. Komitmen terhadap nilai-nilau universal A-Quran menjadi syarat
mutlak untuk memperoleh kebahagiaan. Roh kebahagiaan adalah jiwa tauhid yang di
atas jiwa tauhid itu nilai-nilai universal dibangun. Komitmen terhadap
nilai-nilai universal itu merupakan metode dan strategi untuk menggapai kebahagiaan.
0 komentar