Makalah Tentang Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmatnyalah kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan” tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini kami mendapat banyak tantangan dan hambatan tapi dengan bantuan berbagai pihak, masalah itu dapat teratasi. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Maka dari itu,saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian. kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN 
1.1 Latar Belakang          
1.2 Rumusan Masalah          
1.3 Tujuan
BAB II : PEMBAHASAN 
2.1 Konsep & Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
2.2 Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
2.3 Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Model Beragama Yang Benar
2.4 Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan



BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai  hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi  diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai  kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan,   serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika  tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.
Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup. Dan ini menjadi cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah.

1.2 Rumusan Masalah
  1. Bagaimana konsep dan Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan?
  2. Apa Alasan Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia?
  3. Apa Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Satu-Satunya Model Bergama Yang Benar?
  4. Apa Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai-Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan?

1.3 Tujuan
  1. Mengetahui Konsep dan Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
  2. Mengetaui Alasan Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
  3. Mengetahui Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Satu-Satunya Model Bergama Yang Benar
  4. Mengetahui Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai-Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Karakteristik Islam Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai  hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi  diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai  kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan,   serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika  tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.

Berikut pendapat dari beberapa ahli mengenai makna kebahagiaan:

Menurut Al-Alusi bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa mencapai keinginan/cita-cita yang dituju dan diimpikan. Pendapat lain menyatakan bahwa bahagia atau kebahagiaan adalah tetap dalam kebaikan, atau masuk ke dalam kesenangan dan kesuksesan.

Konsep bahwa tujuan hidup adalah sa ādah ‟ di dunia dan sa ādah ‟ di akhirat, bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah kebahagiaan itu adalah perasaan senang dan tenteram karena hati sehat dan berfungsi dengan baik. Hati yang sehat dan berfungsi dengan baik bisa berhubungan dengan Tuhan pemilik kebahagiaan.Kebahagiaan dapat diraih kalau dekat dengan pemilik kebahagiaan itu sendiri yaitu Allah Swt. Dalam kitab Mīzānul „Amal, Al-Ghazali menyebut bahwa sa ādah ‟ (bahagia) terbagi dua, pertama bahagia hakiki; dan kedua, bahagia majasi. Ibnu Athaillah mengatakan, “Allah memberikan harta kepada orang yang dicintai Allah dan kepada orang yang tidak dicintai Allah, tetapi Allah tidak akan memberikan iman kecuali kepada orang yang dicintai-Nya.”

Menurut Al-Ghazali kebahagiaan harta bukan melekat pada dirinya, namun pada manfaatnya. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad saw. bersabda, ”Harta yang terbaik adalah harta yang ada pada seorang laki-laki yang baik pula (saleh).” (HR Ibnu Hibban). Di antara kebahagiaan duniawi adalah memiliki keluarga, anakanak yang saleh, dan istri yang salihah pula. Istri yang salihah bagaikan kebun yang dapat mengikat pemiliknya, yaitu suami untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang diharamkan Allah azza wajalla Nabi Muhammad menyatakan, “Sebaik-baik penolong untuk keutuhan beragama adalah istri yang salihah.” Menyangkut keutamaan anak, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Jika anak Adam meninggal dunia, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR Thabrani).

Agama adalah landasan atau fundamen, sedangkan jabatan atau kedudukan adalah penjaganya. Barang siapa yang tidak memiliki fondasi, maka akan roboh. Sebaliknya, barang siapa yang tidak mempunyai penjaga, maka akan kehilangan. Allah berfirman, 

فَهَزَمُوْهُمْ بِاِذْنِ اللّٰهِ  ۗ  وَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوْتَ وَاٰتٰٮهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ وَالْحِکْمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَآءُ  ۗ  وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْاَرْضُ وَلٰـکِنَّ اللّٰهَ ذُوْ فَضْلٍ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ
“Seandainya bukan kerena perlindungan Allah kepada sebagian manusia atas sebagian yang lain, maka rusaklah bumi ini”(QS Al-Baqarah/2: 251).

Pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah bahwa untuk menggapai kebahagiaan itu mengharuskan adanya kondisi hati yang sehat (qalbun salīm), Karakteristik hati yang sehat adalah sebagai berikut.
  1. Hati menerima makanan yang berfungsi sebagai nutrisi dan obat.
  2. Selalu berorientasi ke masa depan dan akhirat.
  3. Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah
  4. Tidak pernah lupa dari mengingat Allah (berzikir kepada Allah),
  5. Jika sesaat saja lupa kepada Allah segera ia sadar dan kembali  mendekat dan berzikir kepada-Nya
  6. Jika sudah masuk dalam salat, maka hilanglah semua kebingungan dan kesibukan duniawinya
  7. Perhatian terhadap waktu agar tidak hilang sia-sia melebihi perhatian kepada manusia lain dan hartanya.
  8. Hati yang sehat selalu berorientasi kepada kualitas amal bukan kepada amal semata. Oleh sebab itu, hati selalu ikhlas, mengikuti nasihat, mengikuti sunnah, dan selalu bersikap ihsan.
Berikutnya Anda dapat menyimpulkan sendiri bahwa hati yang sakit adalah hati tidak memiliki kriteria sebagaimana diuraikan di atas. Jadi, kalau hati enggan atau menghindar dari makanan yang sehat malah sebaliknya, hati beralih ke makanan yang tidak sehat berarti hati itu sakit. Demikian pula, jika ia tidak mau makan obat, menghindar dari obat yang bisa menyembuhkan yakni Al-Quran, berarti hati itu pun sakit. Hati yang sakit adalah hati yang tidak berfungsi dengan semestinya. Fungsi hati adalah untuk mencintai Allah, rindu kepada Allah, dan kembali kepada Allah yang dimana kembali kepada Allah sebagai Tuhannya, maka nilainya sama saja dengan orang yang tidak mengetahui sama sekali. Demikian juga seandainya manusia mendapatkan bagian-bagian dunia, kenikmatan dunia, dan syahwat dunia, tetapi tidak memiliki rasa cinta kepada Allah, tidak rindu kepada Allah, tidak nikmat bersama Allah, tidak berkhidmat kepada Allah, maka manusia tidak mendapatkan kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan. Sekiranya hati manusia itu bahkan kosong tidak mendapatkan semua itu, maka kehidupan dunia akan menjadi siksa baginya


2.2 Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia
Kunci beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang melekat dalam diri manusia dan telah menjadi karakter manusia itu sendiri. Kata “Fitrah” secara kebahasaan memang asal maknanya adalah suci. Yang dimaksud suci adalah suci dari dosa dan suci secara genetis. Menurut Prof. Udin Winataputra, fitrah adalah lahir dengan membawa iman. Berbeda dengan konsep teologi islam, teologi tertentu berpendapat sebaliknya yaitu bahwa setiap manusia lahir telah membawa dosa yakni dosa warisan di dunia. Menurut teologi ini, manusia dibebani tugas yaitu harus membebaskan diri dari dosa itu. Adapun teologi islam, seperti telah dijelaskan, bahwa setiap manusia lahir dalam kesucian yakni suci dari dosa dan telah beragama yakni agama islam. Tugas manusia adalah berupaya agar kesucian dan keimanan terus terjaga dalam hatinya hingga kembali kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya sebagai berikut ;
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا   ۗ  فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا   ۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَـلْقِ اللّٰهِ  ۗ  ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ   ۙ   وَلٰـكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ   
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum/30:30)

Yang dimaksud fitrah Allah pada ayat di atas adalah bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu karena disebabkan banyak faktor antara lain pengaruh lingkungan. 

Di samping itu, ayat di atas juga mengandung maksud bahwa setiap manusia yang lahir telah dibekali agama dan yang dimaksud agama adalah agama Islam. Inti agama Islam adalah tauḫīdullāh. Jadi, kalau ketika orang lahir telah dibekali tauḫīdullāh, maka ketika ia hidup di alam ini dan ketika ia kembali kepada Sang Pencipta harus tetap dalam fitrah yakni dalam tauḫīdullāh. Mengganti kefitrahan yang ada dalam diri manusia sama artinya dengan menghilangkan jati diri manusia itu sendiri. Hal itu sangat tidak mungkin dan tidak boleh. Allah sendiri yang melarangnya.“Tidak boleh ada penggantian terhadap agama ini sebab inilah agama yang benar meskipun kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS Ar-Rum/30: 30). Ibnu Kasir ketika menafsirkan Surah Ar-Rum ayat 30 secara tegas menyatakan, bahwa yang dimaksud “khalqillāh” adalah agama Allah dan yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibnu Kasir selanjutnya mengutip surah Al-A‟raf/7:172 yang ditafsirkannya bahwa Allah menciptakan semua manusia ada dalam hidayah agama Islam, namun kemudian datanglah kepada mereka agama yang fasid, Yahudi, Nasrani dan Majusi. Karena dorongan setan, maka masuklah sebagian manusia ke dalam agama yang fasid itu. Dengan demikian, “tidak boleh mengganti agama Allah” berarti “janganlah kamu mengubah agama yang telah mereka bawa sejak di alam arwah sebab mengubah agama itu berarti kamu mengubah fitrah yang telah Allah ciptakan kepada manusia di atas fitrah itu”. Mungkin saja orang akan mengatakan “mengubah” agama manusia adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena beragama adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang harus dijaga dan dihormati.


2.3 Argumen Tentang Tauhidillah Sebagai Satu-Satunya Model Bergama Yang Benar
Sebagaimana telah diketahui bahwa misi utama Rasulullah saw., seperti halnya rasul-rasul yang sebelum beliau adalah mengajak manusia kepada Allah. Lā ilāha illallāh itulah landasan teologis agama yang dibawa oleh Rasulullah dan oleh semua para nabi dan rasul. Makna kalimat tersebut adalah “Tidak ada Tuhan kecuali Allah;” “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah;” “Tidak ada yang dicintai kecuali Allah;” “Tidak ada yang berhak dimintai tolong / bantuan kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus dituju kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus ditakuti kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus diminta ridanya kecuali Allah.” 

Tauḫīdullāh membebaskan manusia dari takhayul, khurafat, mitos, dan bidah. Tauḫīdullāh menempatkan manusia pada tempat yang bermartabat, tidak menghambakan diri kepada makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada manusia. Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan paling sempurna dibanding dengan makhlukmakhluk Allah yang lain. Itulah sebabnya, Allah memberikan amanah dan khilāfah kepada manusia. Manusia adalah roh alam, Allah menciptakan alam karena Allah menciptakan manusia sempurna (insan kamil). Sekiranya tidak ada insan kamil, maka Allah tidak perlu menciptakan alam ini, demikian menurut hadis qudsi yang menyatakan, “Dan manusia yang ber- tauḫīdullāh dengan benarlah yang berpotensi untuk mendekati posisi insan kamil.” 
Rasulullah bersabda, “Lā ilāha illallāh adalah bentengku. Barang siapa masuk ke bentengku, maka ia aman dari azab.” (Alhadits).

Lā ilāha illallāh adalah kalimah taibah (thayyibah), yang digambarkan oleh Al-Quran laksana sebuah pohon yang akarnya tertancap ke dalam tanah, batangnya berdiri tegak dengan kokoh, yang dahan dan rantingnya mengeluarkan buah-buahan, yang lebat dan bermanfaat untuk manuasia. Makna ayat secara majasi bahwa jika akarnya baik, maka buahnya pun baik dan lebat, dan sebaliknya jika akarnya tidak baik, maka buah pun tidak akan ada. Demikian juga jika tauḫīdullāh-nya benar, maka segala sesuatunya menjadi baik dan benar, tetapi jika tauhidnya tidak benar, maka aktivitas yang ia lakukan menjadi tidak berharga, sia-sia dan mubazir. 

Allah berfirman, “Allah meneguhkan hati orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh di dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat” (QS Ibrahim/14: 27).Yang dimaksud “ucapan yang kokoh” adalah kalimah tauhid yakni kalimah taibah yaitu kalimah “ lā ilāha illallāh”.

Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa mengucapkan kalimah lā ilāha illallāh secara ikhlas, pasti ia masuk surga. Rasulullah ditanya, “Apa yang dimaksud keikhlasan itu?” Rasulullah saw.  menjawab, “Bahwa kalimah itu bisa menghalangi orang itu dari hal-hal yang diharamkan Allah” (HR Thabrani).

Dari Abu Hurairah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw., „Siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafaatmu pada hari Kiamat?‟ Rasulullah menjawab, „Aku menduga, wahai Abu Hurairah, tidak akan ada yang bertanya tentang hal ini sebelummu. Namun, karena aku melihat betapa bersungguh-sungguh engkau dalam mencari hadis, maka aku beritakan bahwa manusia yang paling bahagia dengan mendapat syafaatku pada hari Kiamat adalah orang yang mengucapkan kalimah “lā ilāha illallāh” dengan  ikhlas dari hatinya atau dari jiwanya” (HR Bukhari).

Rasulullah menyatakan bahwa kunci surga itu adalah kalimah lā ilāha illallāh. Menurut ahli makrifat, yang namanya kunci haruslah sesuatu yang punya gigi karena kunci ada giginya, maka ia dapat dipakai membuka pintu. Di antara gigi kunci surga itu adalah lisan yang berzikir, suci dari dusta dan gibah, lalu hati yang khusyuk, suci dari hasad dan khianat, perut yang bersih suci dari makanan yang haram dan syubhat, dan anggota badan yang disibukkan dengan berkhidmat kepada Allah, dan suci dari maksiat dan dosa-dosa. 

Betapa tauḫīdullāh sangat prinsip dalam kehidupan seorang muslim. Nabi Muhammad mengingatkan manusia agar terhindar dari hal-hal yang merusak tauḫīdullāh. Perkara yang dapat merusak tauḫīdullāh adalah syirik. Allah berfirman, “Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar” (QS Luqman/31:13). Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Allah akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang Allah kehendaki”  (QS An-Nisa/4 42); “Barang siapa syirik kepada Allah, maka Allah mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka” (QS Al-Hajj/22: 31). Ayat lainnya bisa Anda baca: (QS Luqman/31: 15), (QS Al-Hajj/22: 26), (QS Jin/72: 20), QS Ar-Ra‟d/13: 38),QS Al-Baqarah/2: 32), (QS Ali Imran/3: 51), (QS Al-An‟am/6: 22, 88, 107, 148), (QS An-Nahl/16: 54).  Dalam sebuah hadis sahih Rasulullah saw. pernah bersabda, “Perlukah aku beritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, ”Tentu saja ya Rasulullah.” Rasul bersabda, “Musyrik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”  Beliau duduk lalu berkata lagi, ”Ingatlah ucapan palsu, ingatlah persaksian palsu.” Rasulullah mengulang-ngulang ucapannya hingga aku menduga Rasulullah  tidak akan berhenti” (muttafaq ‟alaih).

Sebagaimana telah Anda maklum bahwa syirik terbagi dua, ada syirik akbar (besar) dan ada syirik asghar.(kecil). Syirik akbar adalah menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Adapun syirik asghar adalah riya dalam beramal. Allah berfirman, “Barang siapa menghendaki bertemu dengan Allah, maka hendaklah beramal dengan amal saleh dan jangan menyekutukan Tuhan dengan siapa pun dalam beramal.”(QS Al-Kahfi/18: 79).

Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian syirik asghar (syirik kecil).” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah syirik asghar itu?” Rasulullah menjawab, “Riya”. Dalam hadis lainnya, seorang sahabat bertanya lagi kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah apakah yang dimaksud keselamatan”? Rasul menjawab, ”Engkau jangan berkhianat kepada Tuhanmu.” Sahabat bertanya, “Bagaimana berkhianat kepada Tuhan itu?” Rasul menjawab, ”Engkau mengerjakan suatu amal perintah Allah dan rasul-Nya, tetapi engkau beramal dengan amal itu engkau maksudkan untuk selain Allah. Jauhi riya sebab riya itu adalah syirik asghar.” (HR Muslim).

Tauḫīdullāh adalah barometer kebenaran agama-agama sebelum Islam. Jika agama samawi yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Muhammad saw. masih tauḫīdullāh, maka agama itu benar, dan seandainya agama nabi-nabi sebelum Muhammad saw. itu sudah tidak tauḫīdullāh yakni sudah ada syirik, unsur menyekutukan Allah, maka dengan terang benderang agama itu telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Agama yang dibawa para nabi pun namanya Islam. Silakan baca argumen Qurani dalam wahyu Tuhan. Sebagian ayat tentang masalah tersebut disampaikan sebagai berikut. 
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ  ۚ  وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Barang siapa mencari  agama selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima dan di akhirat termasuk orang yang merugi.” (QS Ali Imran/3: 85).

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ  وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۗ  وَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama yang diridai Allah adalah agama Islam.” (QS Ali Imran/3: 19).  

اَفَغَيْرَ دِيْنِ اللّٰهِ يَبْغُوْنَ وَلَهٗۤ اَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ طَوْعًا وَّكَرْهًا وَّاِلَيْهِ يُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah mereka mencari agama selain agama Allah, padahal hanya kepada-Nya menyerahkan diri segala yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan.” (QS Ali Imran/3: 83).

Setiap orang harus bersikap hati-hati bahwa tauḫīdullāh yang merupakan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan itu, menurut Said Hawa, dapat rusak dengan hal-hal sebagai berikut.

1. Sifat Al-Kibr (sombong)
Allah tidak mau memperhatikan orang yang bersikap sombong terhadap ayat-ayat Allah. Allah berfirman, “Akan Kami palingkan dari ayat-ayat Kami orang-orang yang sombong di muka bumi tanpa hak. Seandainya mereka melihat setiap ayat, mereka tidak memercayainya, dan jika mereka melihat jalan petunjuk, mereka tidak mengikutinya, dan jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menjadikannya sebagai jalan. Hal demikian terjadi, sebab mereka mendustakan ayat-ayat Kami, dan mereka lupa terhadap ayat-ayat itu.” (QS Al-Araf/7: 146).

2. Sifat Azh-Zhulm (kezaliman) dan Sifat Al-Kizb (kebohongan) 
“Bebaskan diri kita dari belenggu kezaliman dan kedustaan sebab Allah tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang bersikap zalim” (QS Ash-Shaff/61: 7). Selain itu, “Allah pun tidak akan memberi hidayah kepada pendusta yang bersifat mengingkari (kaffar).”  (QS Az-Zumar/39: 3).

3. Sikap Al-Ifsād (melakukan perusakan).
Bebaskan diri kita dari sikap merusak di muka bumi, membatalkan perjanjian, dan memutuskan perintah-perintah yang mestinya disampaikan.
Allah berfirman, “Dan tidak akan tersesat kecuali orangorang fasik, yaitu orang-orang yang membatalkan perjanjian dengan Allah yang dulunya telah kokoh, dan mereka memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk disampaikan, dan mereka melakukan perusakan di muka bumi, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al-Baqarah/2: 26-27).

4. Sikap Al-Ghaflah (lupa)
Jika Anda menginginkan adanya keterbukaan terhadap ayatayat Allah secara keseluruhan, maka ketahuilah bahwa sebagian ayat-ayat Allah terbuka kepada sebagian manusia dengan hanya berpikir dan berzikir kalau di sana tidak ada penghalang. Untuk mengambil sebagai contoh; kita perhatikan ayat Tuhan berikut ini,


“Sesungguhnya di dalam peristiwa ini ada tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir.” (QS Ar-Ra‟d/13: 2).

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akalnya.” (QS Ar-Ra‟d/13: 4).

“Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal yaitu mereka yang berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi” (QS Ali Imran/3: 190-191).

Tidaklah seseorang berpaling dari Allah kecuali karena lupa, dan tidak ada sikap lupa kecuali di belakangnya ada permainan dan ingatlah bahwa seluruh kehidupan dunia itu adalah permainan belaka. “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan.” (QS. Muhammad/47:26)

“Telah dekat hari perhitungan kepada manusia padahal mereka dalam keadaan lupa dan berpaling. Tidaklah datang kepada mereka peringatan dari Tuhan kecuali mereka mendengar sambil bermain-main, dan hati mereka lalai.” (QS. Al-Anbiya/21:1-2)

5. Al-Ijram (Berbuat dosa)
Bebaskan diri kita dari ijram yakni berbuat dosa. Allah melukiskan sikap ini dalam firman –Nya,


“Sekali-kali tidak, tetapi apa yang mereka kerjakan mengotori hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifir/83:14).

“Demikian juga kami memasukannya pada hati orang-orang berdosa tetapi mereka tidak mengimaninya dan telah berlalu sunnah (kebiasaan) orang-orang terdahulu.” (QS. Al Hijr/15:12-13)

2.4 Esensi dan Urgensi Komitmen Terhadap Nilai-Nilai Tauhid Untuk Mencapai Kebahagiaan
Mengapa jiwa tauhid penting? Sebab jiwa tauhid adalah modal dasar hidup yang dapat mengantar manusia menuju keselamatan dan kesejahteraan. Sungguh, jiwa tauhid penting, Allah sebagai rabb telah menanamkan jiwa tauhid ini kepada seluruh manusia semenjak mereka berada di alam arwah. Supaya jiwa tauhid berkembang, maka Allah mengutus para rasul dengan tugas utamamya yaitu menyirami jiwa tauhid agar tumbuh dan berkembang sehingga menghasilkan buah yang lebat yaitu amal saleh. 

Jiwa tauhid dikembangkan dalam diri manusia agar jiwa tauhid menjadi roh kehidupan dan menjadi cahaya dalam kegelapan. Sebuah aktivitas yang dilaksanakan mahasiswa, misalnya, akan bermakna kalau ada rohnya. Aktivitas tanpa roh adalah kegiatan semu yang tidak akan membuahkan kemaslahatan. Jiwa tauhid merupakan roh segala aktivitas umat manusia. Demikian juga, berjalan dalam kegelapan rohani dapat membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. 
وَلَـقَدْ ذَرَأْنَا لِجَـهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ   ۖ  لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَا  ۖ  وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَا  ۖ  وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَا   ۗ  اُولٰٓئِكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ   ۗ  اُولٰٓئِكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan (untuk isi neraka jahannam) kebanyakan jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al-A‟raf/7: 179).

Nilai-nilai hidup yang dibangun di atas jiwa tauhid merupakan nilai positif, nilai kebenaran, dan nilai Ilahi yang abadi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Nilai mutlak dan universal yang terdapat di dalamnya dapat menjadikan misi agama ini sebagai raḫmatan lil ‟ālamīn, agama yang membawa kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan mat manusia lahir dan batin. Komitmen terhadap nilai-nilau universal A-Quran menjadi syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan. Roh kebahagiaan adalah jiwa tauhid yang di atas jiwa tauhid itu nilai-nilai universal dibangun. Komitmen terhadap nilai-nilai universal itu merupakan metode dan strategi untuk menggapai kebahagiaan. 

Nilai-nilai universal yang perlu ditanamkan dan dikembangkan agar menjadi roh kehidupan itu adalah ash-shidq (kejujuran), alamānah, al-„adālah, al-ḫurriyyah (kemerdekaan), al-musāwah (persamaan), tanggung jawab sosial, at-tasāmuḫ (toleransi), kasih sayang, tanggung jawab lingkungan, tabādul-ijtima‟ (saling memberi manfaat), at-tarāḫum (kasing sayang) dan lain-lainnya. 

1. Al-Amānah
Al-Amānah artinya terpercaya. Mengapa seseorang terpercaya dan dipercaya? Karena ia jujur. Kejujuran menyebabkan seseorang dipercaya. Karena dipercaya, maka ia menjadi manusia terpercaya (al-Amīn). Al-amīn adalah sifat Muhammad sebelum menjadi nabi sehingga karena sifat inilah ia dipercaya masyarakat Quraisy pada waktu itu untuk menyelesaikan persengketaan dalam meletakan Hajar Aswad  pada tempatnya. Amanah juga bisa diartikan „titipan‟. Harta, tahta, dan wanita yang menjadi istri kita adalah titipan Tuhan. Oleh karena titipan, maka kita harus memperlakukan semua itu sesuai dengan aturan dan kehendak yang menitipkannya yaitu Allah. Syekh Abdul Qadir Jailani menyatakan bahwa harta adalah “khadimmu” (sesuatu yang menjadi wasilah untuk mencapai tujuan), dan kamu adalah “khadim” Tuhan. Perlakukan harta sesuai aturan Tuhan! Demikian juga tahta dan keluarga kita. Terhadap semua itu kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Karena ada pertanggungjawaban di akhir, baik di dunia maupun di akhirat, maka orang yang mendapatkan amanah jabatan, amanah kekayaan, dan amanah keluarga tidak boleh hidup semena-mena dengan jabatannya, hartanya dan keluarganya, tetapi harus hatihati, proporsional, dan penuh tanggung jawab supaya pertanggungjawabannya diterima masyarakat dan diterima oleh Allah dan akhirnya diberi pahala oleh Allah.

2. Al-Adālah
Al-„Adālah secara etimologis artinya „keadilan‟. Keadilan dalam persepektif etika Islam adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Sesuatu yang menjadi hak kita, maka menjadi kewajiban bagi orang lain. Sebaliknya, sesuatu yang menjadi hak orang lain, maka menjadi kewajiban kita. 

Keadilan dalam perspektif hukum adalah “Wadh‟u sya`in fī maḫallihi” artinya „meletakan sesuatu pada tempatnya‟. Dalam aplikasinya keadilan dapat berarti memberikan hukuman bagi yang melanggar norma dan hukum, serta  memberikan penghargaan  bagi yang melakukan ketaatan terhadap norma dan hukum. Keadilan dapat juga dijabarkan sebagai memberikan keputusan hukum secara jujur, objektif, dan benar tanpa dipengaruhi hal lain yang tidak berkaitan dengan hukum. Misal hal lain adalah hubungan keluarga, pertemanan, permusuhan, kebencian, atau penyuapan, dan gratifikasi. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena Allah menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali  kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil; berlaku adillah sebab berlaku adil itu lebih dekat kepada ketakwaan; dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah/5: 8).  

3. Al-Hurriyyah  
Kebebasan manusia dalam berkehendak dan mewujudkan kehendak dengan perbuatan adalah hak asasi manusia. Manusia mempunyai kebebasan untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya lewat ilmu, filsafat, atau pembaharuan pemahaman terhadap agama. Kebebasan berpikir merupakan sarana untuk melahirkan gagasan-gagasan besar untuk memajukan peradaban manusia. Peradaban yang maju tentu berawal dari gagasangagasan besar yang diwujudkan dalam bingkai iptek. Di samping mempunyai kebebasan berpikir, manusia juga mempunyai kemerdekaan dalam berserikat, berpolitik, dan menyampaikan aspirasinya melalui saluran-saluran yang benar secara hukum. Kemerdekaan berserikat, berpolitik, dan berpartisipasi dalam organisasi yang diikuti merupakan ciri utama masyarakat madani.



BAB III
PENUTUP



KESIMPULAN


Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai  hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi  diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai  kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan,   serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional.

Kunci beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang melekat dalam diri manusia dan telah menjadi karakter manusia itu sendiri. Kata “Fitrah” secara kebahasaan memang asal maknanya adalah suci. Yang dimaksud fitrah Allah pada QS. Ar-Rum/30:30 adalah bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Inti agama Islam adalah tauḫīdullāh. Jadi, kalau ketika orang lahir telah dibekali tauḫīdullāh, maka ketika ia hidup di alam ini dan ketika ia kembali kepada Sang Pencipta harus tetap dalam fitrah yakni dalam tauḫīdullāh.

Tauḫīdullāh membebaskan manusia dari takhayul, khurafat, mitos, dan bidah. Tauḫīdullāh menempatkan manusia pada tempat yang bermartabat, tidak menghambakan diri kepada makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada manusia. Tauḫīdullāh adalah barometer kebenaran agama-agama sebelum Islam. Jika agama samawi yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Muhammad saw. masih tauḫīdullāh, maka agama itu benar, dan seandainya agama nabi-nabi sebelum Muhammad saw. itu sudah tidak tauḫīdullāh yakni sudah ada syirik, unsur menyekutukan Allah, maka dengan terang benderang agama itu telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Agama yang dibawa para nabi pun namanya Islam


Sungguh, jiwa tauhid penting, Allah sebagai rabb telah menanamkan jiwa tauhid ini kepada seluruh manusia semenjak mereka berada di alam arwah. Jiwa tauhid dikembangkan dalam diri manusia agar jiwa tauhid menjadi roh kehidupan dan menjadi cahaya dalam kegelapan. Nilai-nilai hidup yang dibangun di atas jiwa tauhid merupakan nilai positif, nilai kebenaran, dan nilai Ilahi yang abadi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Nilai mutlak dan universal yang terdapat di dalamnya dapat menjadikan misi agama ini sebagai raḫmatan lil ‟ālamīn, agama yang membawa kedamaian, keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan mat manusia lahir dan batin. Komitmen terhadap nilai-nilau universal A-Quran menjadi syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan. Roh kebahagiaan adalah jiwa tauhid yang di atas jiwa tauhid itu nilai-nilai universal dibangun. Komitmen terhadap nilai-nilai universal itu merupakan metode dan strategi untuk menggapai kebahagiaan.  
Load disqus comments

0 komentar