MAKALAH PKN
“Pancasila
Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu”
Disusun
Oleh :
Anggota Kelompok 6 :
- Mimi Atiatun Rodiyah
- M. Zulfikar Hidayat
- M. Daffa Fiqratul Islam
- Mulya Ihsa Hanif
- Naura Sauna
- Ni Luh Buda
- Oki Pratama Putra
Fakultas
Pertanian
Prodi
Agribisnis
Universitas
Mataram
2018/2019
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmatnya lah kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu” tepat pada
waktunya. Dalam penyusunan makalah ini kami mendapat banyak tantangan dan hambatan tapi
dengan bantuan berbagai pihak, masalah itu dapat teratasi. Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan pada penulisan makalah ini. Maka dari itu,saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian. kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
2.2 Alasan
Pancasila Diperlukan Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
2.3 Historis,Sosiologis,Politis
Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pembangunan ilmu
2.4 Dinamika
dan tantangan Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
2.5 Esensi
dan Urgensi Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
BAB
III PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era globalisasi menuntut adanya berbagai
perubahan. Demikian juga pada Indonesia, pada saat ini terjadi perubahan besar-besaran
yang disebabkan oleh pengaruh dari luar maupun dari dalam negeri, dan
kesemuanya memerlukan kemampuan warga Negara yang mempunyai bekal ilmu
pengetahuan yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.Dalam pengembangan ilmu pengetahuan harus diarahkan
untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin, bukan semata-mata untuk mengejar kemajuan material
.Tetapi kenyataannya perkembangan Ilmu pengetahuan sekarang terkadang
jauh melenceng dari dasar-dasar dan nilai-nilai luhur Pancasila. Perkembangan
yang pesat ini justru menggerogoti ideologi Pancasila. Setiap orang
berlomba-lomba untuk memperoleh perubahan dan kemajuan untuk kehidupan yang
serba instan.
1.2 Rumusan
Masalah
- Bagaimana konsep pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ?
- Mengapa Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ?
- Bagaimanakah sumber historis, sosiologis, politis tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia?
- Bagaimanakah dinamika dan tantangan pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ?
- Bagaimana esensi dan urgensi pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu?
1.3 Tujuan Masalah
- Mengetahui konsep pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
- Mengetahui alasan Pancasila diperlukan sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
- Mengetahui sumber historis, sosiologis, politis tentang Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia.
- Mengetahui dinamika dan tantangan pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
- Mengetahui esensi dan urgensi pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pengertian pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa jenis pemahaman.
Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) yang dikembangkan di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Yang berarti bahwa iptek tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila mengandung
asumsi bahwa iptek itu sendiri berkembang secara otonom, kemudian dalam
perjalanannya dilakukan adaptasi dengan nilai-nilai pancasila.
Kedua,bahwa setiap iptek yang dikembangkan di
Indonesia harus menyertakan nilainilai pancasila sebagai faktor internal
pengembangan iptek itu sendiri. Yang berarti bahwa setiap iptek yang
dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai pancasila sebagai
faktor internal mengandaikan bahwa sejak awal pengembangan iptek sudah harus
melibatkan nilai-nilai pancasila. Namun, keterlibatan nilai-nilai pancasila ada
dalam posisi tarik ulur, artinya ilmuwan dapat mempertimbangkan sebatas yang
mereka anggap layak untuk dilibatkan.
Ketiga, bahwa nilai-nilai pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi
pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak
keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Yang berarti bahwa
nilai-nilai pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan iptek
mengasumsikan bahwa ada aturan main yang harus disepakati oleh para ilmuwan
sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak ada jaminan bahwa aturan main itu
akan terus ditaati dalam perjalanan pengembangan iptek itu sendiri. Sebab
ketika iptek terus berkembang, aturan main seharusnya terus mengawal dan
membayangi agar tidak terjadi kesenjangan antara pengembangan iptek dan aturan
main.
Keempat, bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi
bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegenisasi
ilmu. Yang berarti menempatkan bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar
dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri sebagai proses indegenisasi
ilmu mengandaikan bahwa pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di Indonesia. Untuk
itu, diperlukan penjabaran yang lebih rinci dan pembicaraan di kalangan
intelektual Indonesia, sejauh mana nilai-nilai pancasila selalu menjadi bahan
pertimbangan bagi keputusan-keputusan ilmiah yang diambil.
2.2 Alasan Pancasila
Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dewasa ini mencapai kemajuan pesat
sehingga peradaban manusia mengalami perubahan yang luar biasa. Pengembangan
iptek tidak dapat terlepas dari situasi yang melingkupinya, artinya iptek
selalu berkembang dalam suatu ruang budaya. Perkembangan iptek pada gilirannya
bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dan agama sehingga di satu pihak
dibutuhkan semangat objektivitas, di pihak lain iptek perlu mempertimbangkan
nilai-nilai budaya dan agama dalam pengembangannya agar tidak merugikan umat
manusia. Kuntowijoyo dalam konteks pengembangan ilmu menengarai bahwa
kebanyakan orang sering mencampuradukkan antara kebenaran dan kemajuan sehingga
pandangan seseorang tentang kebenaran terpengaruh oleh kemajuan yang dilihatnya.
Kuntowijoyo menegaskan bahwa kebenaran itu bersifat non-cumulative (tidak bertambah) karena kebenaran itu tidak
makin berkembang dari waktu ke waktu. Adapun kemajuan itu bersifat cumulative (bertambah), artinya kemajuan itu selalu berkembang dari
waktu ke waktu. Agama, filsafat, dan kesenian termasuk dalam kategori non-cumulative, sedangkan fisika, teknologi, kedokteran
termasuk dalam kategori cumulative (Kuntowijoyo, 2006: 4). Oleh karena itu,
relasi iptek dan budaya merupakan persoalan yang seringkali mengundang
perdebatan.
Relasi antara iptek dan nilai budaya, serta
agama dapat ditandai dengan beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, iptek yang gayut dengan nilai budaya dan agama sehingga pengembangan
iptek harus senantiasa didasarkan atas sikap human-religius. Kedua,iptek yang lepas sama sekali dari norma
budaya dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan
iptek tanpa dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Hal ini terjadi karena
sekelompok ilmuwan yang meyakini bahwa iptek memiliki hukum-hukum sendiri yang
lepas dan tidak perlu diintervensi nilai-nilai dari luar. Ketiga,iptek yang menempatkan nilai agama dan budaya
sebagai mitra dialog di saat diperlukan. Dalam hal ini, ada sebagian ilmuwan
yang beranggapan bahwa iptek memang memiliki hukum tersendiri (faktor
internal), tetapi di pihak lain diperlukan faktor eksternal (budaya, ideologi,
dan agama) untuk bertukar pikiran, meskipun tidak dalam arti saling bergantung
secara ketat.
Relasi
yang paling ideal antara iptek dan nilai budaya serta agama tentu terletak pada
fenomena pertama, meskipun hal tersebut belum dapat berlangsung secara optimal,
mengingat keragaman agama dan budaya di Indonesia itu sendiri. Keragaman
tersebut di satu pihak dapat menjadi kekayaan, tetapi di pihak lain dapat
memicu terjadinya konflik. Oleh karena itu, diperlukan sikap inklusif dan
toleran di masyarakat untuk mencegah timbulnya konflik.Untuk itu, komunikasi
yang terbuka dan egaliter diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Fenomena kedua yang menempatkan pengembangan iptek di luar nilai
budaya dan agama, jelas bercorak positivistis. Kelompok ilmuwan dalam fenomena
kedua ini menganggap intervensi faktor eksternal justru dapat mengganggu
objektivitas ilmiah. Fenomena ketiga yang menempatkan nilai budaya dan agama
sebagai mitra dialog merupakan sintesis yang lebih memadai dan realistis untuk
diterapkan dalam pengembangan iptek di Indonesia. Sebab iptek yang berkembang
di ruang hampa nilai, justru akan menjadi bumerang yang membahayakan aspek
kemanusiaan.
Pancasila sebagai ideologi negara merupakan
kristalisasi nilai-nilai budaya dan agama dari bangsa Indonesia. Pancasila
sebagai ideologi bangsa Indonesia mengakomodir seluruh aktivitas kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, demikian pula halnya dalam aktivitas
ilmiah. Oleh karena itu, perumusan pancasila sebagai paradigma ilmu bagi
aktivitas ilmiah di Indonesia merupakan sesuatu yang bersifat niscaya.S ebab
pengembangan ilmu yang terlepas dari nilai ideologi bangsa, justru dapat
mengakibatkan sekularisme, seperti yang terjadi pada zaman Renaissance di Eropa. Bangsa Indonesia memiliki akar budaya dan
religi yang kuat dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat sehingga
manakala pengembangan ilmu tidak berakar pada ideologi bangsa, sama halnya
dengan membiarkan ilmu berkembang tanpa arah dan orientasi yang jelas.
Bertitik tolak dari asumsi di atas, maka das Sollen ideologi pancasila berperan sebagai leading principle dalam kehidupan ilmiah bangsa Indonesia.
Para Ilmuwan tetap berpeluang untuk mengembangkan profesionalitasnya tanpa
mengabaikan nilai ideologis yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri.
2.3 Historis,Sosiologis,Politis Pancasila Sebagai
Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
A. Sumber Historis Pancasila sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu di Indonesia
Sumber historis pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu di Indonesia dapat ditelusuri pada awalnya dalam dokumen
negara, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Alinea keempat Pembukaan UUD
1945 berbunyi:
”Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, … dan
seterusnya”.
Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” mengacu
pada pengembangan iptek melalui pendidikan. Amanat dalam Pembukaan UUD 1945
yang terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa itu haruslah berdasar pada
nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, dan seterusnya, yakni pancasila. Proses
mencerrdaskan kehidupan bangsa yang terlepas dari nilai-nilai sipiritualitas,
kemanusiaan, solidaritas kebangsaan, musyawarah, dan keadilan merupakan
pencederaan terhadap amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan
dokumen sejarah bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu
belum banyak dibicarakan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat
dimaklumi, mengingat para pendiri negara yang juga termasuk cerdik cendekia
atau intelektual bangsa Indonesia pada masa itu mencurahkan tenaga dan
pemikirannya untuk membangun bangsa dan negara. Para intelektual merangkap
sebagai pejuang bangsa masih disibukkan pada upaya pembenahan dan penataan
negara yang baru saja terbebas dari penjajahan. Penjajahan tidak hanya menguras
sumber daya alam negara Indonesia, tetapi juga menjadikan bagian terbesar dari
rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan kebodohan. Segelintir rakyat
Indonesia yang mengenyam pendidikan di masa penjajahan itulah yang menjadi
pelopor bagi kebangkitan bangsa sehingga ketika negara Indonesia merdeka
diproklamirkan, mereka merasa perlu mencantumkan aspek kesejahteraan dan
pendidikan ke dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi”..memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
melindungi segenap tanah tumpah darah Indonesia”. Sila-sila pancasila yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 jelas merupakan bagian dari
amanat para pendiri negara untuk mengangkat dan meningkatkan kesejahteraan dan
memajukan kesejahteraan bangsa dalam arti penguatan perekonomian bangsa dan
pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa
Indonesia agar setara dengan bangsabangsa lain di dunia.
Soekarno dalam rangkaian kuliah umum Pancasila Dasar Falsafah Negara pada 26 Juni 1958 sampai dengan 1 Februari
1959 sebagaimana disitir Sofian Effendi, Rektor UGM dalam Simposium dan
Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, 14 – 15 Agustus 2006, selalu menyinggung perlunya setiap
sila pancasila dijadikan blueprint
bagi setiap pemikiran dan tindakan bangsa
Indonesia karena kalau tidak akan terjadi kemunduran dalam pencapaian keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Effendi, 2006: xiii). Pancasila sebagai blueprint dalam pernyataan Soekarno kurang lebih
mengandung pengertian yang sama dengan pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan iptek karena sila-sila pancasila sebagai cetak biru harus masuk ke
dalam seluruh rencana pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia.
Sumber historis lainnya dapat ditelusuri
dalam berbagai diskusi dan seminar di kalangan intelektual di Indonesia, salah
satunya adalah di perguruan tinggi.
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu baru mulai dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak sekitar 1980-an,
terutama di perguruan tinggi yang mencetak kaum intelektual. Salah satu
perguruan tinggi di Indonesia yang membicarakan hal tersebut adalah Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada 15 Oktober 1987, Universitas Gadjah Mada
menyelenggarakan seminar dengan tema Pancasila sebagai Orientasi
Pengembangan Ilmu bekerja
sama dengan Harian Kedaulatan Rakyat. Dalam sambutannya, Rektor Universitas Gadjah
Mada pada waktu itu, Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H. menegaskan bahwa
seminar dengan tema Pancasila sebagai orientasi Pengembangan Ilmu merupakan hal
baru, dan sejalan dengan Pasal 2 Statuta Universitas Gadjah Mada yang
disitirnya dalam dalam sambutan, berbunyi sebagai berikut.
“Universitas Gadjah Mada adalah lembaga
pendidikan tinggi nasional bagi pembentukan dan pengembangan kepribadian serta
kemampuan manusia seutuhnya bagi pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
bagi pelestarian dan pengembangan secara ilmiah unsur-unsur dan seluruh
kebudayaan serta lingkungan hidup dan lingkungan alaminya, yang diselenggarakan
dalam rangka pembangunan bangsa dan negara sesuai penjelmaan dan pelaksanaan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 demi tercapainya cita-cita proklamasi
kemerdekaan seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945”
(Koesnadi, 1987: xi-xii).
Konsep pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu pernah dikemukakan oleh Prof Notonagoro, anggota senat
Universitas Gadjah Mada sebagaimana dikutip oleh Prof. Koesnadi Hardjasoemantri
dalam sambutan seminar tersebut, yang menyatakan bahwa pancasila merupakan
pegangan dan pedoman dalam usaha ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sebagai
asas dan pendirian hidup, sebagai suatu pangkal sudut pandangan dari subjek
ilmu pengetahuan dan juga menjadi objek ilmu pengetahuan atau hal yang
diselidiki. (Koesnadi, 1987: xii). Penggunaan istilah
“asas dan pendirian hidup” mengacu pada sikap dan pedoman yang menjadi rambu
normatif dalam tindakan dan pengambilan keputusan ilmiah.
Daoed Joesoef dalam artikel ilmiahnya yang
berjudul Pancasila,
Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan menyatakan bahwa pancasila adalah gagasan vital yang berasal dari
kebudayaan Indonesia, artinya nilai-nilai yang benar-benar diramu dari sistem
nilai bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, pancasila memiliki metode
tertentu dalam memandang, memegang kriteria tertentu dalam menilai sehingga
menuntunnya untuk membuat pertimbangan (judgement) tertentu tentang gejala, ramalan, dan
anjuran tertentu mengenai langkah-langkah praktikal (Joesoef, 1987: 1, 15).
Konsep pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu menurut cara pandang
Daoed Joesoef adalah sebagai tuntunan dan pertimbangan nilai dalam pengembangan
iptek.
Prof. Dr. T Jacob melihat bahwa pada abad
XVII terjadi perubahan besar dalam cara berpikir manusia. Hal ini ditandai
dengan terjadinya sekularisasi ilmu pengetahuan sehingga terjadi pemisahan
antara raga dan jiwa yang dipelajari secara terpisah. Bagian raga diperlakukan
sebagai materi dan diterangkan sebagaimana halnya dengan gejala alam. Ilmu
pengetahuan alam terpisah dari ilmu pengetahuan sosial dan humaniora. Menjelang
akhir abad XX, t kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat sehingga
terjadi teknologisasi kehidupan dan penghidupan. Teknologi berkembang sendiri
dan makin terpisah, serta jauh meninggalkan agama dan etika, hukum, ilmu
pengetahuan sosial dan humaniora (Jacob, 1987: 51-52). Prof. Dr. T. Jacob
menegaskan bahwa pancasila seharsunya dapat membantu dan digunakan sebagai
dasar etika ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Untuk itu, lima
prinsip besar yang terkandung dalam pancasila cukup luas dan mendasar untuk
mencakup segala persoalan etik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu (1)
Monoteisme; (2) Humanisme dan solidaritas karya negara; (3). Nasionalisme dan
solidaritas warga negara; (4). Demokrasi dan perwakilan; (5). Keadilan sosial
(Jacob, 1987: 59).
B. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan
Ilmu di Indonesia
Sumber sosiologis pancasila sebagai dasar
nilai pengembangan iptek dapat ditemukan pada sikap masyarakat yang sangat
memperhatikan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan sehingga manakala iptek tidak
sejalan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, biasanya terjadi penolakan.
Contohnya, penolakan masyarakat atas rencana pembangunan pusat pembangkit
listrik tenaga nuklir di semenanjung Muria beberapa tahun yang lalu. Penolakan
masyarakat terhadap PLTN di semenanjung Muria didasarkan pada kekhawatiran atas
kemungkinan kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Chernobyl Rusia
beberapa tahun yang lalu. Trauma nuklir berkaitan dengan keselamatan reaktor
nuklir dan keluaran limbah radioaktif yang termasuk ke dalam kategori limbah
beracun. Kedua isu tersebut memicu dampak sosial sebagai akibat pembangunan
PLTN, bukan hanya bersifat standar seperti terciptanya kesempatan kerja,
kesempatan berusaha, tiumbulnya gangguan kenyaman karena kemacetan lalu lintas,
bising, getaran, debu, melainkan juga dampak yang bersifat khusus, seperti rasa
cemas, khawatir dan takut yang besarnya tidak mudah dikuantifikasi. Dalam
terminologi dampak sosial, hal yang demikian itu dinamakan perceived impact, dampak yang dipersepsikan (Sumber: Suara Merdeka,
8 Desember 2006).
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat peka
terhadap isu-isu ketuhanan dan kemanusiaan yang ada di balik pembangunan pusat
tenaga nuklir tersebut. Isu ketuhanan dikaitkan dengan dikesampingkannya
martabat manusia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dalam pembangunan iptek.
Artinya, pembangunan fasilitas teknologi acapkali tidak melibatkan peran serta
masyarakat sekitar, padahal apabila terjadi dampak negatif berupa kerusakan
fasilitas teknologi, maka masyarakat yang akan terkena langsung akibatnya.
Masyarakat sudah menyadari perannya sebagai mahluk hidup yang dikaruniai akal
dan pertimbangan moral sehingga kepekaan nurani menjadi sarana untuk bersikap
resisten terhadap kemungkinan buruk yang terjadi di balik pengembangan iptek.
Masyarakat terlebih peka terhadap isu kemanusiaan di balik pembangunan dan
pengembangan iptek karena dampak negatif pengembangan iptek, seperti limbah
industri yang merusak lingkungan, secara langsung mengusik kenyamanan hidup
masyarakat.
C. Sumber Politis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan
Ilmu di Indonesia
Sumber politis pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu di Indonesia dapat dirunut ke dalam berbagai kebijakan yang
dilakukan oleh para penyelenggara negara. Dokumen pada masa Orde Lama yang
meletakkan pancasila sebagai dasar nilai pengembangan atau orientasi ilmu,
antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa di UGM pada 19
September 1951, mengungkapkan hal sebagai berikut.
“Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah
berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidup
manusia, atau praktiknya bangsa, atau praktiknya hidup dunia kemanusiaan.
Memang sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktik hidup manusia, bangsa,
dan dunia kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan
ilmu dengan amal, menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan sehingga
pengetahuan ialah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan.
Ilmu dan amal harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan
amal. Malahan, angkatlah derajat kemahasiswaanmu itu kepada derajat mahasiswa
patriot yang sekarang mencari ilmu, untuk kemudian beramal terus menerus di
wajah ibu pertiwi” (Ketut, 2011).
Dengan demikian, pancasila sebagai dasar
nilai pengembangan ilmu pada zaman Orde Lama belum secara eksplisit
dikemukakan, tetapi oleh Soekarno dikaitkan langsung dengan dimensi kemanusiaan
dan hubungan antara ilmu dan amal. Selanjutnya, pidato Soekarno pada Akademi
Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret 1962, mengatakan hal sebagai
berikut.
“Ilmu pengetahuan itu adalah malahan
suatu syarat mutlak pula, tetapi kataku tadi, lebih daripada itu, dus lebih
mutlak daripada itu adalah suatu hal lain, satu dasar. Dan yang dimaksud dengan
perkataan dasar, yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting daripada ilmu
pengetahuan.Ilmu pengetahuan tetap adalah suatu syarat mutlak. Tanpa karakter
yang gilang gemilang, orang tidak dapat membantu kepada pembangunan nasional,
oleh karena itu pembangunan nasional itu sebenranya adalah suatu hal yang
berlangit sangat tinggi, dan berakar amat dalam sekali. Berakar amat dalam
sekali, oleh karena akarnya itu harus sampai kepada inti-inti daripada segenap
cita-cita dan perasaan-perasaan dan gandrungangandrungan rakyat” (Soekarno,
1962).
Pidato Soekarno di atas juga tidak mengaitkan
dengan pancasila, tetapi lebih mengaitkan dengan karakter, yakni kepercayaan
yang sesuai dengan nilainilai pancasila. Pada zaman Orde Baru, presiden Soeharto
menyinggung masalah pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu
ketika memberikan sambutan pada Kongres Pengetahuan Nasional, 18 September 1986
di Jakarta sebagai berikut.
“Ilmu
pengetahuan dan teknologi harus
diabdikan kepada manusia dan kemanusiaan, harus dapat memberi jalan bagi
peningkatan martabat manusia dan kemanusiaan. Dalam ruang lingkup nasional,
ilmu pengetahuan dan teknologi yang ingin kita kuasai dan perlu kita kembangkan
haruslah ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa memberi dukungan kepada
kemajuan pembangunan nasional kita. Betapapun besarnya kemampuan ilmiah dan teknologi
kita dan betapapun suatu karya ilmiah kita mendapat tempat terhormat pada
tingkat dunia, tetapi apabila kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu
tidak dapat membantu memecahkan masalah-masalah pembangunan kita, maka jelas
hal itu merupakan kepincangan, bahkan suatu kekurangan dalam penyelenggaraan
ilmu pengetahuan dan teknologi” (Soeharto, 1986: 4).
Demikian pula halnya dengan zaman Orde Baru,
meskipun pancasila diterapkan sebagai satu-satunya asas organisasi politik dan
kemasyarakatan, tetapi penegasan tentang pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu di Indonesia belum diungkapkan secara tegas. Penekanannya
hanya pada iptek harus diabdikan kepada manusia dan kemanusiaan sehingga dapat
memberi jalan bagi peningkatan martabat manusia dan kemanusiaan.
Pada era Reformasi, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam sambutan pada acara silaturrahim dengan Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan masyarakat ilmiah, 20 Januari 2010 di Serpong.
SBY menegaskan sebagai berikut.
“Setiap
negara mempunyai sistem inovasi nasional dengan corak yang berbeda dan khas,
yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya masingmasing. Saya berpendapat, di
Indonesia, kita juga harus mengembangkan sistem inovasi nasional, yang
didasarkan pada suatu kemitraan antara pemerintah, komunitas ilmuwan dan
swasta, dan dengan berkolaborasi dengan dunia internasional. Oleh karena itu,
berkaitan dengan pandangan ini dalam waktu dekat saya akan membentuk komite
inovasi nasional, yang langsung bertanggungjawab kepada presiden, untuk ikut
memastikan bahwa sistem inovasi nasional dapat berkembang dan berjalan dengan
baik. Semua ini penting kalau kita sungguh ingin Indonesia menjadi knowledge
society.strategi yang kita tempuh untuk menjadi negara maju, developed country,
adalah dengan memadukan pendekatan sumber daya alam, iptek, dan budaya atau knowledge
based, Resource based and culture based development” (Yudhoyono, 2010).
Habibie dalam pidato 1 Juni 2011 menegaskan bahwa penjabaran pancasila sebagai dasar
nilai dalam berbagai kebijakan penyelenggaraan negara merupakan suatu upaya
untuk mengaktualisasikan pancasila dalam kehidupan (Habibie, 2011: 6).
Berdasarkan pemaparan isi pidato para
penyelenggara negara tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sumber politis dari
pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek lebih bersifat apologis karena
hanya memberikan dorongan kepada kaum intelektual untuk menjabarkan nilai-nilai
pancasila lebih lanjut.
2.4 Dinamika dan tantangan Pancasila Sebagai
Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
A. Dinamika
Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum
dibicarakan secara eksplisit oleh para penyelenggara negara sejak Orde Lama
sampai era Reformasi. Para penyelenggara negara pada umumnya hanya menyinggung
masalah pentingnya keterkaitan antara pengembangan ilmu dan dimensi kemanusiaan
(humanism). Kajian tentang pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu baru mendapat perhatian yang lebih khusus
dan eksplisit oleh kaum intelektual di beberapa perguruan tinggi, khususnya
Universitas Gadjah Mada yang menyelenggarakan Seminar Nasional tentang
Pancasila sebagai pengembangan ilmu, 1987 dan Simposium dan Sarasehan Nasional tentang Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasioanl, 2006. Namun pada kurun waktu
akhirakhir ini, belum ada lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
pancasila dalam kaitan dengan pengembangan Iptek di Indonesia.
B. Tantangan Pancasila
Sebagai Dasar Nilai Pembangunan Ilmu
Ada beberapa bentuk tantangan terhadap
pancasila sebagai dasar pengembangan iptek di Indonesia:
- Kapitalisme yang sebagai menguasai perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangan sitem ekonomi pancasila yang pernah dirintis Prof. Mubyarto pada 1980an belum menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk menangkal dan menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.
- Globalisasi yang menyebabkan lemahnya daya saing bangsa Indonesia dalam pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negaranegara lain.
- Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat aplikasi kebijakan negara.
- Pragmatisme yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu; workability (keberhasilan), satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) (Titus, dkk., 1984) mewarnani perilaku kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
2.5 Esensi dan Urgensi Pancasila Sebagai Dasar
Nilai Pembangunan Ilmu
A. Esensi Pancasila Sebagai Dasar Nilai Pembangunan
Ilmu
Hakikat pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dikemukakan
Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa sebagai berikut.
- Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian dan hasil ujian akan menentukan kehidupannya yang abadi di akhirat nanti. Salah satu ujiannya adalah manusia diperintahkan melakukan perbuatan untuk kebaikan, bukan untuk membuat kerusakan di bumi. Tuntunan sikap pada kode etik ilmiah dan keinsinyuran. seperti menjunjung tinggi keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat; berperilaku terhormat, bertanggung jawab, etis dan taat aturan untuk meningkatkan kehormatan, reputasi dan kemanfaatan professional, dan lain-lain, adalah suatu manifestasi perbuatan untuk kebaikan tersebut. Ilmuwan yang mengamalkan kompetensi teknik yang dimiliki dengan baik sesuai dengan tuntunan sikap tersebut berarti menyukuri anugrah Tuhan (Wahyudi, 2006: 61--62).
- Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab memberikan arahan, baik bersifat universal maupun khas terhadap ilmuwan dan ahli teknik di Indonesia. Asas kemanusiaan atau humanisme menghendaki agar perlakuan terhadap manusia harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu memiliki keinginan, seperti kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya dihargai, mengeluarkan pendapat, berperan nyata dalam lingkungannya, bekerja sesuai kemampuannya yang tertinggi (Wahyudi, 2006: 65). Hakikat kodrat manusia yang bersifat mono-pluralis, sebagaimana dikemukakan Notonagoro, yaitu terdiri atas jiwa dan raga (susunan kodrat), mahluk individu dan sosial (sifat kodrat), dan mahluk Tuhan dan otonom (kedudukan kodrat) memerlukan keseimbangan agar dapat menyempurnakan kualitas kemanusiaannya.
- Sila ketiga,Persatuan Indonesia memberikan landasan esensial bagi kelangsungan Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, ilmuwan dan ahli teknik Indonesia perlu menjunjung tinggi asas Persatuan Indonesia ini dalam tugas-tugas profesionalnya. Kerja sama yang sinergis antarindividu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada penjumlahan produktivitas individunya (Wahyudi, 2006: 66). Suatu pekerjaan atau tugas yang dikerjakan bersama dengan semangat nasionalisme yang tinggi dapat menghasilkan produktivitas yang lebih optimal.
- Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan memberikan arahan asa kerakyatan, yang mengandung arti bahwa pembentukan negara republik Indonesia ini adalah oleh dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula halnya dengan ilmuwan dan ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebasar-besarnya sesuai kemampuan untuk kemajuan negara. Sila keempat ini juga memberi arahan dalam manajemen keputusan, baik pada tingkat nasional, regional maupun lingkup yang lebih sempit (Wahtudi, 2006: 68). Manajemen keputusan yang dilandasi semangat musyawarah akan mendatangkan hasil yang lebih baik karena dapat melibatkan semua pihak dengan penuh kerelaan.
- Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberikan arahan agar selalu diusahakan tidak terjadinya jurang (gap) kesejahteraan di antara bangsa Indonesia. Ilmuwan dan ahli teknik yang mengelola industri perlu selalu mengembangkan sistem yang memajukan perusahaan, sekaligus menjamin kesejahteraan karyawan (Wahyudi, 2006: 69). Selama ini, pengelolaan industri lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dalam arti keuntungan perusahaan sehingga cenderung mengabaikan kesejahteraan karyawan dan kelestarian lingkungan. Situasi timpang ini disebabkan oleh pola kerja yang hanya mementingkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya, pola tersebut dapat menjadi pemicu aksi protes yang justru merugikan pihak perusahaan itu sendiri.
B. Urgensi
Pancasila Sebagai Dasar
Nilai Pembangunan Ilmu
Pentingnya pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu, meliputi halhal sebagai berikut.
- Perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia dewasa ini tidak berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia sepenuhnya berorientasi pada Barat.
- Perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia lebih berorientasi pada kebutuhan pasar sehingga prodi-prodi yang “laku keras” di perguruan tinggi Indonesia adalah prodi-prodi yang terserap oleh pasar (dunia industri).
- Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum melibatkan masyarakat luas sehingga hanya menyejahterakan kelompok elite yang mengembangkan ilmu (scientist oriented).
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila adalah
dasar atau pedoman dalam menjalankan urusan kenegeraan Indonesia. Sedangkan
ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena yang diperoleh
manusia melalui proses berpikir. Maksud dari Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu disini dari sekian banyak fungsi Pancasila, Pancasila juga
digunakan sebagai acuan dalam pengembangan ilmu yang semakin hari semakin
kompleks. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu mencakup nilai-nilai
ketuhanan (melengkapi ilmu pengetahuan, menciptakan keseimbangan antara yang
logis dan tidak logis, serta mengklasifikasikan antara rasa dan akal),
kemanusiaan (menuntun para kaum berilmu kepada arah pengendalian berilmu), dan
persatuan (memberikan kesadaran kepada bangsa Indonesia bahwa rasa nasionalisme
akibat perkembangan ilmu pengetahuan dapat terwujud dan terpelihara).
3.2 Saran
Makalah ini dibuat
untuk memberikan informasi mengenai Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan
ilmu. Untuk pengembangan lebih lanjut, penulis menyarankan kepada pembaca agar
:
- Lebih memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, terutama sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.
- Lebih mengkaji ilmu-ilmu dengan maksud untuk membangun kehidupan tanah air.
0 komentar